Satu
tahun lalu, saya memperhatikan anak Sekolah Dasar (SD) di ujung Sulawesi Utara
ke Jakarta. Anak tersebut datang sebagai satu dari sepuluh finalis sebuah
kompetisi nasional. Dari sepuluh finalis, empat finalis bukan berasal dari
pusat kota: Papua, Jawa Timur, Jawa Tengah, dan siswa saya. Sisanya ke enam
finalis berasal dari kota-kota besar Indonesia seperti Jakarta dan Bandung.
Menyoroti
pergaulan antara para finalis, saya heran. Sebuah pertanyaan terbesit. “Mengapa
anak-anak bukan dari kota bisa saling bergaul sedangkan para anak kota bahkan
tidak bergaul sesamanya?” Anak saya bahkan sering melirik ke talenan (Tablet)
si anak kota seakan ingin berkenal dan ingin dikenalkan dengan “dunia” si anak.
Parahnya, si anak kota bahkan melirik pun tidak. Komunikasi mereka hanya
terbatas pada ‘mainannya’, guru pembimbing, dan orang tua pendamping.
Saya
takut, fenomena ini menular ke daerah. Fenomena ini membunuh keramahan khas
daerah. Saya ingat, saya menyaksikan punahnya sebuah kebiasaan baik kala
mengelilingi pulau Jawa. Ya, kerja bakti telah mulai hilang semenjak proyek dan
tender mereka kenal. Mereka ‘ogah’ kerja sukarela walau menyangkut kepentingan
bersama. Mereka rela kalau proyeknya sudah jelas dan bayarannya pas. Peduli
amat kalau bicara kepentingan bersama..
Tak
hanya keramahan, saya menyaksikan toleransi yang tinggi di berbagai daerah.
Saya beri contoh. Di Rote, teman saya mendapat julukan penjagal. Apa sebab?
Teman saya seorang muslim. Tepatnya, satu-satunya muslim di daerah tersebut.
Karena itu, teman ini hanya mengkonsumsi daging dengan aturan sembelih sesuai
agamanya. Warga di sana menyambut luar biasa. Setiap warga hendak mengkonsumsi
seekor hewan, apa pun itu, teman ini menjadi algojonya. Mengapa? Supaya teman
ini dapat mengkonsumsi bersama.
Saya
juga punya teman di Pulau Para. Teman ini juga menjadi satu-satunya warga
muslim di pulau itu. Namun, toleransi cukup besar. Saat lebaran, lonceng gereja
berbunyi menyambut teman yang sedang bersuka. Kue-kue lebaran disediakan. Tak
hanya di daerah Kristen, seorang gadis di Sulawesi Tengah pun merasakan
toleransi sebagai satu-satunya orang Kristen di daerah Muslim. Dia bahkan
menjadi penasehat di Kampung tersebut dan menjadi penengah akan bermacam
persoalan.
Sebuah
pengalaman pribadi, saat saya menelusuri Jawa, saya tidak menyewa hotel atau
losmen. Saya tidur di rumah penduduk, makan, dan bercengkrama dengan mereka.
Saya seorang Kristen, kala itu bulan puasa, mayoritas mereka muslim. Saya
bahkan tidak sedikit pun merasa terkucilkan. Malahan mereka sangat bersimpati
dan melayani saya yang tidak berpuasa.
Di
Jakarta? Ahok mendapat kampanye hitam soal suku dan agamanya. Di Jakarta?
Beberapa kalangan ingin lurah Susan berhenti dengan alasan agama. Di Bogor? Ada
sebuah gereja tanpa sebab tidak mendapat tempat beragama. Itu pun belum
berserta seluruh cerita yang saya kumpulkan. Seorang teman tidak berhasil
mendapat promosi karena ada yang tidak setuju dengan agamanya. Dan sebagainya.
Dan sebagainya.
Jika
daerah menjadi tempat pertunjukan moral dan segala ajaran yang tertulis dalam
buku PPKN, maka Jakarta menjadi panggung pertunjukkan sebaliknya. Ironi,
Jakarta menjadi ‘dapur’ penggodokkan segala undang-undang dan peraturan.
Jakarta meneriakkan segala macam kebenaran. Jakarta juga gudang segala macam
ahli berkomentar.
Benarlah
kata Anies Baswedan, “Semangat yang ditonjolkan adalah semangat sesama warga
negara. Negara ini bukan dirancang untuk melindungi minoritas. Indonesia bukan
pula dirancang untuk melindungi mayoritas. Indonesia dirancang untuk melindungi
segenap warganya.”
Ya,
harusnya konsep mayoritas dan minoritas tidak lagi menguak, menjadi perhatian,
apalagi masalah. Apabila dua pihak berkonflik, konflik itu bukanlah antara
mayoritas dan minoritas. Konsep itu bukanlah antara agama satu dengan lainnya.
Konflik itu antara dua pihak, warga negara, yang belum berhasil menghayati arti
sesama warga negara.
Konsep
ini yang harus muncul. Konsep ini harus popular. Biarlah masyarakat berpikir,
“Ya, benar. Konflik itu terjadi karena kurangnya pemahaman akan sesama warga negara.”
Maka itu akan menjadi penekanan dan menjadi perhatian. Jika ada warga yang
menganggap rendah golongan warga lain, masyarakat akan menghujat, “Itu warga
belum mengenal konsep ‘sesama warga negara’.”
Dengan
mengenal konsep ‘sesama warga negara’, konsep lain akan muncul. Warga akan
mengenal ‘kepentingan sesama warga negara’. Maka kerja bakti akan tumbuh.
Dengan membiasakan konsep ‘kepentingan sesama negara’, koruptor akan semakin
terpojok. Moral bangsa akan tumbuh.
Sayangnya,
konsep ‘sesama warga negara’ akan terhalang apabila ada kelompok yang sangat
keras pada golongannya. Konsep ini akan punah apabila ada kelompok-kelompok
yang tidak bisa mengesampingkan kepentingan kelompoknya dengan mulai melihat ke
angkasa lebih tinggi, kepentingan bangsanya.
Saya
menuliskan ini karena membandingkan dua fenomena. Saya takut, anak binaan saya
tertular arogansi teman kotanya. Saya takut, warga kampung di Rote dan Para
menjadi begitu anarkis pada perbedaan.
Saya
takut gadis di Sulawesi Tengah mendapat penindasan karena perbedaan.
Karena
itu, saya menulis. Saya berharap pada Jakarta. Saya berharap pada konsep
'sesama warga negara'. Saya ingin kerja bakti tumbuh lagi. Karena itu, saya
berharap 'kepentingan sesama warga negara' tumbuh kembali.
Saya
tidak berharap warga daerah akan tertular anti Pancasila. Saya tidak berharap
warga daerah akan tertular kesombongan. Karena itu, saya berharap, Jakarta
tertular keramahan desa, Jakarta tertular kebhinekaan desa. Hanya sebuah
harapan.