Rabu, 30 Oktober 2013

tulisan bebas 2 softkil



Satu tahun lalu, saya memperhatikan anak Sekolah Dasar (SD) di ujung Sulawesi Utara ke Jakarta. Anak tersebut datang sebagai satu dari sepuluh finalis sebuah kompetisi nasional. Dari sepuluh finalis, empat finalis bukan berasal dari pusat kota: Papua, Jawa Timur, Jawa Tengah, dan siswa saya. Sisanya ke enam finalis berasal dari kota-kota besar Indonesia seperti Jakarta dan Bandung.
Menyoroti pergaulan antara para finalis, saya heran. Sebuah pertanyaan terbesit. “Mengapa anak-anak bukan dari kota bisa saling bergaul sedangkan para anak kota bahkan tidak bergaul sesamanya?” Anak saya bahkan sering melirik ke talenan (Tablet) si anak kota seakan ingin berkenal dan ingin dikenalkan dengan “dunia” si anak. Parahnya, si anak kota bahkan melirik pun tidak. Komunikasi mereka hanya terbatas pada ‘mainannya’, guru pembimbing, dan orang tua pendamping.
Saya takut, fenomena ini menular ke daerah. Fenomena ini membunuh keramahan khas daerah. Saya ingat, saya menyaksikan punahnya sebuah kebiasaan baik kala mengelilingi pulau Jawa. Ya, kerja bakti telah mulai hilang semenjak proyek dan tender mereka kenal. Mereka ‘ogah’ kerja sukarela walau menyangkut kepentingan bersama. Mereka rela kalau proyeknya sudah jelas dan bayarannya pas. Peduli amat kalau bicara kepentingan bersama..
Tak hanya keramahan, saya menyaksikan toleransi yang tinggi di berbagai daerah. Saya beri contoh. Di Rote, teman saya mendapat julukan penjagal. Apa sebab? Teman saya seorang muslim. Tepatnya, satu-satunya muslim di daerah tersebut. Karena itu, teman ini hanya mengkonsumsi daging dengan aturan sembelih sesuai agamanya. Warga di sana menyambut luar biasa. Setiap warga hendak mengkonsumsi seekor hewan, apa pun itu, teman ini menjadi algojonya. Mengapa? Supaya teman ini dapat mengkonsumsi bersama.
Saya juga punya teman di Pulau Para. Teman ini juga menjadi satu-satunya warga muslim di pulau itu. Namun, toleransi cukup besar. Saat lebaran, lonceng gereja berbunyi menyambut teman yang sedang bersuka. Kue-kue lebaran disediakan. Tak hanya di daerah Kristen, seorang gadis di Sulawesi Tengah pun merasakan toleransi sebagai satu-satunya orang Kristen di daerah Muslim. Dia bahkan menjadi penasehat di Kampung tersebut dan menjadi penengah akan bermacam persoalan.
Sebuah pengalaman pribadi, saat saya menelusuri Jawa, saya tidak menyewa hotel atau losmen. Saya tidur di rumah penduduk, makan, dan bercengkrama dengan mereka. Saya seorang Kristen, kala itu bulan puasa, mayoritas mereka muslim. Saya bahkan tidak sedikit pun merasa terkucilkan. Malahan mereka sangat bersimpati dan melayani saya yang tidak berpuasa.
Di Jakarta? Ahok mendapat kampanye hitam soal suku dan agamanya. Di Jakarta? Beberapa kalangan ingin lurah Susan berhenti dengan alasan agama. Di Bogor? Ada sebuah gereja tanpa sebab tidak mendapat tempat beragama. Itu pun belum berserta seluruh cerita yang saya kumpulkan. Seorang teman tidak berhasil mendapat promosi karena ada yang tidak setuju dengan agamanya. Dan sebagainya. Dan sebagainya.
Jika daerah menjadi tempat pertunjukan moral dan segala ajaran yang tertulis dalam buku PPKN, maka Jakarta menjadi panggung pertunjukkan sebaliknya. Ironi, Jakarta menjadi ‘dapur’ penggodokkan segala undang-undang dan peraturan. Jakarta meneriakkan segala macam kebenaran. Jakarta juga gudang segala macam ahli berkomentar.
Benarlah kata Anies Baswedan, “Semangat yang ditonjolkan adalah semangat sesama warga negara. Negara ini bukan dirancang untuk melindungi minoritas. Indonesia bukan pula dirancang untuk melindungi mayoritas. Indonesia dirancang untuk melindungi segenap warganya.”
Ya, harusnya konsep mayoritas dan minoritas tidak lagi menguak, menjadi perhatian, apalagi masalah. Apabila dua pihak berkonflik, konflik itu bukanlah antara mayoritas dan minoritas. Konsep itu bukanlah antara agama satu dengan lainnya. Konflik itu antara dua pihak, warga negara, yang belum berhasil menghayati arti sesama warga negara.
Konsep ini yang harus muncul. Konsep ini harus popular. Biarlah masyarakat berpikir, “Ya, benar. Konflik itu terjadi karena kurangnya pemahaman akan sesama warga negara.” Maka itu akan menjadi penekanan dan menjadi perhatian. Jika ada warga yang menganggap rendah golongan warga lain, masyarakat akan menghujat, “Itu warga belum mengenal konsep ‘sesama warga negara’.”
Dengan mengenal konsep ‘sesama warga negara’, konsep lain akan muncul. Warga akan mengenal ‘kepentingan sesama warga negara’. Maka kerja bakti akan tumbuh. Dengan membiasakan konsep ‘kepentingan sesama negara’, koruptor akan semakin terpojok. Moral bangsa akan tumbuh.
Sayangnya, konsep ‘sesama warga negara’ akan terhalang apabila ada kelompok yang sangat keras pada golongannya. Konsep ini akan punah apabila ada kelompok-kelompok yang tidak bisa mengesampingkan kepentingan kelompoknya dengan mulai melihat ke angkasa lebih tinggi, kepentingan bangsanya.
Saya menuliskan ini karena membandingkan dua fenomena. Saya takut, anak binaan saya tertular arogansi teman kotanya. Saya takut, warga kampung di Rote dan Para menjadi begitu anarkis pada perbedaan.
Saya takut gadis di Sulawesi Tengah mendapat penindasan karena perbedaan.
Karena itu, saya menulis. Saya berharap pada Jakarta. Saya berharap pada konsep 'sesama warga negara'. Saya ingin kerja bakti tumbuh lagi. Karena itu, saya berharap 'kepentingan sesama warga negara' tumbuh kembali.
Saya tidak berharap warga daerah akan tertular anti Pancasila. Saya tidak berharap warga daerah akan tertular kesombongan. Karena itu, saya berharap, Jakarta tertular keramahan desa, Jakarta tertular kebhinekaan desa. Hanya sebuah harapan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar